Bab 1 — Mentari Pagi di Kampung Durian Runtuh
Suara ayam berkokok memecah kesunyian pagi. Cahaya mentari perlahan menembus celah pepohonan rambutan di halaman rumah kecil berwarna hijau muda itu. Di dapur, aroma kopi dan nasi lemak tercium semerbak — tanda bahwa hari di Kampung Durian Runtuh telah dimulai. “ Upin! Ipin! Cepat bangun, nanti sejuk matahari naik tinggi! ” Suara lantang itu, meskipun sudah puluhan tahun tak berubah, masih membuat siapa pun di rumah itu refleks bangun. Ya, itu suara Kak Ros — kini berusia 30 tahun, tapi tetap dengan gaya khasnya yang tegas dan berwibawa. Tak lama, dari kamar kecil di pojok, muncul dua sosok pria muda. Mereka bukan lagi bocah berkepala botak yang dulu suka bermain kejar-kejaran, tapi dua pemuda yang sudah tumbuh gagah dan dewasa: Upin dan Ipin . “Alamak, Kak Ros ni... pagi-pagi dah marah,” keluh Ipin sambil mengucek mata. “Betul tu! Baru nak mimpi makan ayam goreng,” sambung Upin dengan tawa kecil. Kak Ros memutar mata, tapi tak bisa menahan senyum. “Kalau ayam goreng tu...