Bab 2 — Festival Durian Runtuh dan Pertemuan Tak Terduga
Matahari pagi bersinar cerah di atas Kampung Durian Runtuh. Jalan-jalan desa yang biasanya sepi kini ramai oleh warna-warni hiasan dan tenda-tenda kecil. Hari ini bukan hari biasa — ini adalah Festival Durian Runtuh Tahunan, acara yang paling dinantikan oleh seluruh warga kampung.
Di sepanjang jalan utama, aroma durian, cempedak, dan kuih-muih tradisional bercampur menjadi satu. Anak-anak berlarian sambil membawa balon, sementara orang-orang dewasa sibuk menata barang dagangan mereka.
Kak Ros dan Booth “Ros Delights”
“Upin! Ipin! Tolong pasang banner tu betul-betul! Jangan senget!”
Kak Ros berdiri di depan booth miliknya yang bertuliskan “Ros Delights – Cita Rasa Kampung, Rasa Dunia.”
Ia memakai apron warna merah muda dengan rambut disanggul rapi, tampak sibuk namun tetap anggun.
“Baik, Kak Ros!” jawab Upin, sambil menarik tali banner dengan tenaga penuh.
“Eh, lebih tinggi sikit, Pin! Nanti nampak tak kemas,” ujar Ipin, memegang tiang bambu di sisi lain.
“Macam ni okey tak?”
“Ha! Cantik dah tu!” seru Kak Ros puas. “Kita akan ramai pelanggan hari ni!”
Upin mengelap keringat. “Aku harap begitu, Kak. Lagipun, kita bawa kuih seri muka dan onde-onde khas Opah. Mesti laku!”
Kak Ros tersenyum, tapi di matanya terselip kebanggaan. Dua adik kecilnya kini benar-benar tumbuh menjadi lelaki yang bisa diandalkan.
Suasana Festival yang Meriah
Di lapangan utama, warga sibuk memamerkan hasil tani dan kerajinan mereka. Ada lomba masak durian, pameran hasil kebun, hingga pertunjukan pentas seni tradisional. Semua berjalan riuh tapi hangat.
“Eh, tengok tu, Pin! Mail!” seru Upin sambil menunjuk ke arah tenda sebelah.
Di sana, tampak Mail, mengenakan topi chef dan apron bertuliskan “Mail Fried Chicken – Dua Ringgit Saja!” dengan logo ayam tersenyum.
Mail menoleh, wajahnya langsung bersinar. “Woi, Upin! Ipin! Lama tak nampak, weh!” katanya sambil tertawa lebar.
Mereka pun berpelukan erat seperti saudara yang lama berpisah.
“Masih jual ayam goreng dua ringgit ke?” tanya Ipin menggoda.
Mail mengangkat alis. “Heh, sekarang tiga ringgit! Tapi rasa tetap juara!”
Ketiganya tertawa keras, menarik perhatian pengunjung di sekitar.
Mail bercerita bahwa bisnisnya kini sudah punya cabang di tiga kota, tapi ia sengaja pulang untuk ikut festival dan bantu kampung.
Pertemuan dengan Teman Lama
Tiba-tiba terdengar suara lembut dari arah belakang.
“Upin? Ipin? Tak sangka jumpa kamu di sini…”
Mereka menoleh, dan di sana berdiri seorang wanita muda dengan rambut panjang, mengenakan blus putih sederhana.
Mei Mei.
Wajahnya masih sama seperti dulu — ramah dan ceria, tapi kini dengan aura dewasa yang tenang.
“Mei Mei? Wah! Lama betul tak nampak kamu!” seru Upin, matanya sedikit berbinar.
Ipin hanya tersenyum, menunduk sopan. “Selamat datang, Mei Mei. Kamu balik cuti?”
Mei Mei mengangguk. “Ya. Saya dapat cuti seminggu dari sekolah. Dengar-dengar ada festival, jadi saya terus balik kampung. Rindu suasana sini.”
“Wah, baguslah kamu balik. Nanti malam ada pentas hiburan, kita semua boleh duduk sama-sama,” kata Mail sambil tersenyum nakal pada Upin.
Upin cepat-cepat menyela, “Ha… ya, bagus tu! Kita boleh cerita banyak hal nanti.”
Pipinya sedikit memerah, sementara Mei Mei tertawa kecil.
Kemeriahan di Tengah Kenangan
Hari semakin siang, dan festival makin ramai.
Ipin sibuk menata brosur tentang proyek “Sekolah Kampung Durian Runtuh”, sementara Upin membantu Kak Ros membungkus pesanan.
Tiba-tiba, dari pengeras suara, terdengar suara lantang:
“Seterusnya! Pertandingan Pantun Antar Kampung akan dimulakan! Peserta pertama, dari Kampung Durian Runtuh — siapa lagi kalau bukan… Jarjit Singh!”
Sorak-sorai penonton pecah. Dari belakang panggung muncul Jarjit, memakai pakaian adat Melayu lengkap, dengan senyum percaya diri.
“Nama saya Jarjit Singh, datang dengan pantun, bukan dengan cincin!” katanya membuka dengan gaya khasnya.
Seluruh warga tertawa keras — termasuk Upin, Ipin, dan Mei Mei yang duduk di bangku penonton depan.
Setelah acara selesai, Jarjit turun panggung dan langsung diserbu teman-temannya.
“Jarjit! Hebatlah kau!” seru Upin.
“Terima kasih, kawan-kawan! Aku ni pelawak terkenal sekarang, tapi kalau balik kampung, tetap anak durian runtuh, hehe!”
Ipin menepuk bahunya. “Baguslah, Jarjit. Tapi jangan lupa datang ajar anak-anak kampung pantun juga nanti, ya?”
“Wah! Boleh! Aku pun rindu dengar suara budak-budak ketawa macam dulu,” jawab Jarjit.
Awal dari Perubahan
Menjelang sore, festival mulai tenang. Cahaya senja memantul di wajah-wajah bahagia para warga.
Upin duduk di bangku kayu, menatap orang-orang lewat dengan senyum puas. Di sampingnya, Mei Mei duduk diam sambil menikmati minuman kelapa muda.
“Seronok tengok semua ni, kan?” kata Mei Mei.
“Ya,” jawab Upin pelan. “Dulu kita cuma datang main dan makan. Sekarang, rasa tanggung jawab tu lain. Nak tengok kampung ni maju, tapi tetap jadi kampung yang damai.”
Mei Mei menatapnya, lalu tersenyum. “Saya tahu kamu boleh buat tu, Upin. Kamu dan Ipin memang lain dari dulu lagi… selalu fikir untuk orang lain.”
Upin terdiam, tak tahu harus berkata apa. Angin sore berhembus lembut, membuat daun-daun bergoyang perlahan. Di hatinya, muncul perasaan hangat yang tak bisa dijelaskan.
Sebuah Pertemuan Tak Terduga
Ketika malam mulai turun, lampu-lampu festival mulai menyala. Musik tradisional berkumandang dari panggung utama.
Namun di tengah keramaian itu, Ipin melihat seorang gadis berjalan tergesa, menatap sekeliling seperti mencari seseorang. Rambutnya dikuncir, memakai jaket coklat muda.
“Eh, macam kenal…” gumam Ipin pelan.
Gadis itu mendekat. “Ipin? Betul kamu Ipin, kan?”
Ipin terkejut. “Nani? Ya Allah, Nani!”
Ya, Nani, sepupu mereka yang dulu tinggal di kota, kini sudah kembali ke kampung setelah menyelesaikan kuliah kedokteran hewan.
Mereka pun berpelukan gembira. “Kamu balik kampung?!” tanya Ipin senang.
Nani tersenyum lembut. “Ya, aku dapat tugasan di klinik hewan daerah sini. Jadi… mulai sekarang, aku kerja dekat kampung ni.”
Mata Ipin berbinar. “Wah, bagusnya! Kampung ni makin ramai orang hebat sekarang.”
Akhir Hari yang Penuh Arti
Malam itu berakhir dengan pesta kembang api di langit Durian Runtuh.
Upin berdiri di samping Mei Mei, sementara Ipin berbincang dengan Nani di dekat booth makanan.
Kak Ros dan Opah menatap dari jauh, tersenyum bahagia melihat anak-anak itu kini menjadi dewasa dengan caranya masing-masing.
Suara ledakan kembang api bergema, warna-warni menyinari wajah mereka.
“Upin,” kata Mei Mei perlahan, “apa kamu pernah fikir, kenapa semua orang akhirnya kembali ke sini?”
Upin menatap langit. “Mungkin… sebab kampung ni bukan sekadar tempat. Ini rumah. Dan rumah selalu panggil kita pulang.”
Mereka terdiam, menikmati malam yang indah — tanpa sadar bahwa pertemuan hari itu akan menjadi awal dari perjalanan panjang penuh cinta, perjuangan, dan perubahan besar di Kampung Durian Runtuh.
🌿 Pesan Bab 2:
Persahabatan sejati akan menemukan jalannya untuk bertemu kembali, tak peduli waktu dan jarak yang memisahkan.
Komentar
Posting Komentar